Web hosting

Petunjuk Pencarian

Custom Search

Tuesday, 12 June 2012

MAKALAH SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA YANG BERBASIS RESTORATIVE JUSTICE


SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA YANG BERBASIS RESTORATIVE JUSTICE



BAB I

A.I. Latar Belakang

KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian, bahkan Prof. Soedarto menyatakan bahwa teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda.
Pasca kemerdekaan, baik pada masa demokrasi terpimpin maupun Orde Baru, KUHP warisan Belanda ini masih tetap berlaku termasuk pula hatzaai artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian) terhadap pimpinan politik, pejabat atau golongan etnis.
 Kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana (penal reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.
 Kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari nilainilai yang ada dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan dalam konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Sementara tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
 Penjelasan Umum RKUHP juga menyatakan bahwa Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan atas landasan yang terkandung dalam konsideran RKUHP tersebut, reformulasi atas pengaturan hukum pidana yang dilakukan meliputi penentuan tindak pidana (kriminalisasi) yang sangat jauh berbeda dengan KUHP sekarang. Tercatat ada 743 pasal dalam RKUHP dimana 513 di antaranya adalah pasal mengenai tindak pidana, selebihnya adalah pasal yang berkaitan dengan ketentuan umum. Jumlah rancangan pasal yang sedemikian besar terutama berkaitan dengan banyaknya pasal tentang tindak pidana dalam RKUHP ini menimbulkan berbagai reaksi dan sorotan yang mengkritisi bahwa RKUHP ini mempunyai gejala over criminalization.
Sorotan lainnya adalah berkaitan dengan pola pemidanaan dan penetapan sanksi pidana yang masih menempatkan pidana mati sebagai pidana yang terberat. Kritik atas masih dipertahankannya pidana mati bagi pelaku ini didasarkan atas pelanggaran terhadap konstitusi dimana dalam UUD Amandemen Kedua, secara tegas dinyatakan tentang jaminan atas hak hidup dan hak ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun (non derogable rights). Selain itu, mempertahankan hukuman mati juga bertentangan dengan beberapa prinsip dan standar internasional dalam mengenai pemidanaan. PBB juga telah mengeluarkan beberapa dokumen penting berkaitan dengan pemidanaan. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoner tahun 1957 dan Konvenan Sipil Politik pada tahun 1966 menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk merehabilitasi pelaku kejahatan. PBB juga menyoroti tentang pentingnya perhatian kepada korban kejahatan dengan dikeluarkannya Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh Majelis Umum PBB. Dengan rumusan yang demikian, sorotan khusus berkenaan dengan pola pemidanaan dan penentuan sanksi dalam RKHUP ini perlu dilakukan karena pemidanaan ini dapat memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana. Pembaharuan hukum pidana, dalam hal ini berkaitan dengan sistem sanksi dalam RKUHP, harus dilandasi dengan re-orientasi atas tujuan pemidanaan. Hal ini penting untuk melihat apa maksud dan capaian yang hendak diharapkan atas sebuah proses pembaharuan dalam hukum pidana. Mengetahui maksud dan capaian tentang tujuan pemidanaan akan menunjukkan paradigma negara atas perlindungan dan jaminan keadilan dan perlindungan hak asasi terhadap warga negaranya sebagaimana dicantumkan dalam konsiderannya. Namun tujuan pemidanaan dan bentuk-bentuk sanksi dalam RKUHP perlu dilakukan peninjauan untuk melihat sejauh mana landasan tujuan pemidanaan dan bentuk-bentuk sanksi yang ditetapkan, karena penetapan sanksi dalam peraturan perundang-undangan adalah sangat penting dan strategis untuk mencapai tujuan dari kebijakan hukum pidana (penal policy).
SELENGKAPNYA : >>DOWNLOAD<<

No comments:

Post a Comment