Hak
Rakyat atas Perumahan: Membuat Kerangka Evaluasi
terhadap
Realisasi Pemenuhan Hak oleh Pemerintah
A. Pengantar
Rumah, bagi banyak orang tidak
menjadi kata sakral. Namun bagi lebih banyak orang lagi, kata ‘rumah’ menjadi
kata yang teramat mahal. Padahal, rumah adalah bangunan dasar, fundamental dan
sekaligus menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan dan hidup dan
menikmati kehidupan bermartabat, damai, aman dan nyaman. Dengan kata lain,
dampak negatif bahkan ancaman nyawa baik fisik maupun mental terbuka pada
individu-individu yang tak punya rumah. Lebih jauh, tanpa mempunyai (akses)
perumahan, kehidupan pribadi, maupun sosial akan sulit dicapai. Tak berlebihan,
hak atas perumahan menjadi variabel penting dan menjadi sebuah hak independen atau
hak yang berdiri sendiri (independent or free-standing right) dalam
mengukur apakah seseorang menikmati hak atas standar hidup yang layak (the
right to a adequate standard of living).
Hak rakyat
atas perumahan dalam disiplin hak asasi manusia (HAM) seringkali dipersamakan
dengan hak rakyat atas tempat untuk hidup. Karena hak ini berkaitan dengan
hidup seseorang, maka rumah dalam pengertian ini mencakup makna perumahan yang
memadai (adequate housing). Kata ‘memadai’ ini menjadi penting untuk
membedakan pendefinisian kata ‘rumah’ menjadi tidak sekadar sebentuk bangunan
persegi empat yang mempunyai atap. Dari standar internasional HAM, kita dapat
meminjam makna rumah yang memadai, yakni ketersediaan pelayanan, material,
fasilitas dan infrastruktur. Memadai juga mengandung makna adanya pemenuhan
prinsip-prinsip seperti affordability, habitability, accessibility.
Selanjutnya, ‘memadai’ juga mempertimbangkan faktor-faktor yang wajib
dipertimbangkan dan dipenuhi seperti faktor lokasi (location) dan culturally
adequate. Standard internasional menyatakan legal security of tenure sebagai
sebuah prinsip yang erat kaitannya dengan pemenuhan hak rakyat atas perumahan.
Artikel ini
mempunyai dua tujuan utama. Pertama, menelusuri kebijakan, prinsip umum,
atau pun strategi (enabling policy) yang disusun, ditetapkan atau
dikeluarkan Negara dalam kaitannya dengan pemenuhan hak rakyat atas perumahan.
Penelusuran kebijakan ini akan menjawab beberapa prinsip pemenuhan hak atas
perumahan, sebagaimana dimuat dalam rezim hukum internasional HAM. Kedua,
memberikan ‘rapor’ pemerintahan Megawati dengan menggunakan parameter relevan
yang merujuk norma-norma hukum internasional. Karenanya, bagian awal artikel
ini akan dimulai dengan gambaran umum tentang rezim hukum internasional HAM
yang berkaitan dengan hak atas perumahan yang layak (the right to adequate
housing). Selanjutnya, dijelaskan, konsepsi tentang kejahatan terhadap hak
atas perumahan, merupakan kejahatan HAM berat. Pada bagian ini juga
dideskripsikan program komunitas internasional dalam mempromosikan dan
mengupayakan perumahan untuk semua.
Selanjutnya
akan digambarkan hak rakyat atas perumahan di Indonesia. Dalam bagian ini, akan
dideskripsikan sekaligus dievaluasi baik kebijakan negara termasuk program aksi
dalam rangka negara untuk memenuhi obligasi hukumnya. Program Pembangungan
Nasional (Propenas) akan dipergunakan untuk melacak enabling policies.
Sedangkan produk perundang-undangan yang berkaitan dengan hak ini akan
dipergunakan untuk memberikan penjelasan dan gambaran sampai sejauh mana hak
ini telah menjadi hak konstitusi (constitutional right) maupun hak hukum
(legal right).
Kondisi pemenuhan hak rakyat ini di tahun 2002 akan
dideskripsikan untuk kemudian menjadi salah satu material penilaian atas
pemerintahan Megawati dan Hamzah Haz. Dalam bagian ini akan disusun
kategorisasi kejahatan-kejahatan HAM serta klasifikasi dari pelanggaran
obligasi hukum negara dalam memenuhi dan melindungi hak atas perumahan.
Data-data selama tahun 2002 atau selama pemerintahan Megawati dan Hamzah diolah
dari berbagai laporan internal Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
- LBH dan media. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) akan dimuat sebagai data
pembanding, utamanya juga bertujuan untuk melihat kategorisasi dalam isu ini.
Selain data ditahun 2002, dimasukkan juga data kejahatan terhadap hak atas
perumahan rakyat, khususnya di Ibukota Jakarta di tahun 2003 ini. Penggusuran
paksa yang marak di Jakarta dapat dikategorisasikan sebagai kejahatan HAM
berat. Di bagian akhir artikel ini akan memuat beberapa rekomendasi bagi upaya
pemenuhan dan perlindungan hak rakyat atas perumahan yang memadai di Indonesia.
No comments:
Post a Comment